Aku duduk dibawah pepohonan
rindang sambil menikmati udara sejuk pagi itu sambil menghiasi payung payung
‘geulis’ku yang kukerjakan utuk dijual. Sejak abah meninggalkan kami 2 tahun
yang lalu, ya beginilah nasibku, pergi pagi pulang petang untung menafkahi
keluargaku. Sebagai anak sulung, aku merasa bertanggung jawab atas itu.
Hari itu, tepatnya tanggal 7 Januari dua tahun yang lalu, aku merasa ada yang mengganjal. Entah apa, aku merasa seharian itu aku gelisah. Di sekolah, biasanya aku semangat untuk mendengarkan Bu Marsini menjelaskan pelajaran IPS yang paling aku sukai. Tapi hari ini benar benar tidak jelas. Pikiranku kacau, aku pikir hari itu aku harus segera pulang ke rumah. Tetapi ketika aku akan bertanya sesuatu kepada Bu Marsini, ada seseorang yang mengetuk pintu kelas. Aku ingin tahu sekali siapa yang ada dibalik pintu kelas. Mungkinkah itu seseorang yang membawa kabar buruk untukku, atau hanya Pak Yanto yang hanya ingin mengambil uang ‘prelek’. “Ah sudahlah,” kataku dalam hati. Aku mencoba mengabaikannya dan melanjutkan mengerjakan tugas IPS.
Ketika
pikiranku sedikit tenang, Pak Yanto bersama Bu Marsini memasuki ruang kelas.
Ada apa sebenarnya yang terjadi, kulihat wajah- wajah mereka seperti membawa kabar duka. “Permisi anak
anak hari ini bapak akan mengumumkan sebuah kabar duka”, Pak Yanto berkata. Apa
kuduga, feeling ku benar. Lalu, Bu
Marsini melanjutkan,”Kami turut berduka cita atas meninggalnya Ayah dari Dian”.
Sontak aku langsung berdiri dari kursi, badan tiba-tiba lemas, mulutku rasanya
tak bisa berkata apa apa. Tanpa pikir panjang, aku langsung lari keluar kelas
dan pulang ke rumahku, meninggalkan tas, buku- buku yang tergeletak di meja dan
sepeda butut berwarna merah pembelian abah di halaman sekolah. Hujan turun dengan
lebatnya, sama seperti air mata dipipi yang terus membanjiri. Aku berlari
sambil mengusap air mata. Sambil berlari aku memikirkan abah, hanya abah.
Dari
kejauhan sudah terlihat bendera kuning berkibar di atas drum kosong, gedebong-
gedebong pisang terkumpul di depan rumah, tenda biru segera dipasang. Aku tak
percaya akan hal itu, abah tidak mungkin meninggalkan aku, ambu dan kelima
adikku, Dani, Tia, Laras, Salma dan Fajar secepat ini. Aku tak sanggup melihat
ambu menangis, menangis melihat abah telah tiada, aku tidak sanggup melihat
kelima adikku yang masih terlalu kecil. Kucoba beranikan diri untuk mendekati
rumahku, sepanjang jalan dekat rumah, tetangga- tetangga melihatku dengan muka
menunduk . Semakin banjir air mataku, ketika dari balik pintu melihat ambu
duduk disebelah abah sambil mengelus-elus dahi abah. Aku menghampiri ambu dan
memeluknya erat.
Hari
itu masih teringat dipikiranku dan selalu akan teringat. Apalagi, ketika aku
melihat sepeda butut itu. Sepeda merah tua pembelian abah ketika aku masih SD.
Abah membelikan sepeda itu khusus untukku. Aku melanjutkan melukis payung ‘geulis’.
Selesainya, aku pulang ke rumah dan langsung memberesi rumah. Walau badan
terasa lelah, namun hal itu sirna ketika aku melihat senyum polos adik- adikku.
Ambu tidak sanggup lagi mengerjakan semua pekerjaan rumah karena akhir akhir
ini ambu sering sakit-sakitan, ambu tidak lagi pergi ke sawah dan sejak saat
itu aku memutuskan berhenti sekolah dan memulai membuat payung-payung ‘geulis’
demi memenuhi kebutuhan.
Keesokan
harinya, aku akan pergi ke tempat biasa dengan sepedaku untuk membuat payung-
payung ‘geulis’ lagi. Aku tidak bisa membeli bahan- bahan yang dibutuhkan untuk
membuat payung ‘geulis’ jadi, aku hanya mengambil payung yang sudah jadi dari
Pak Yanto untuk dilukis, kebetulan sekali Pak Yanto memiliki usaha sampingan
menjual payung. Ketika akan ke rumah Pak Yanto, aku melewati sekolah tempatku
dulu bersekolah, suasananya yang nyaman sama seperti 2 tahun lalu, sungguh aku
ingin merasakan hal itu lagi namun tidak mungkin. Kulihat dari pagar, gedung
sekolah berwarna kelabu, pohon jambu dan bunga eforbia menghiasi taman sekolah, tempat biasa aku memarkirkan
sepedaku dan yang paling aku rindukan adalah teman sekelasku.
Sesampainya
dirumah Pak Yanto, aku tidak jadi mengambil payung ‘geulis’ karena payung telah
habis terambil oleh ibu-ibu sekitar. Memang sering kejadian ini terjadi, jika
aku telat sedikit saja, aku tidak kebagian payung. Aku memutuskan untuk pergi
ke tempat biasa dengan sepeda untuk mencari inspirasi. Biasanya disana aku
melukis payung ‘geulis’ atau sekedar menulis puisi. Aku tidak bisa berlama-
lama disana karena harus membantu ambu di rumah.
Di
rumah, ambu terlihat kelelahan. Ku lihat badannya penuh keringat. “Ambu dari
mana?”, kutanya kepada ambu. Ternyata ambu baru saja pulang dari sawah. Kutanya
beliau, ternyata ambu tidak ingin berdiam diri dirumah sedangkan aku bekerja
keras. Betapa tersentuhnya hatiku mendengar hal itu. Seharusnya ambu tidak
melakukannya, keadaan fisik yang lemah membuat ambu rentan penyakit. Aku
memutuskan untuk pergi ke rumah sakit besok.
Pagi ini aku tidak mengambil
payung ke rumah Pak Yanto karena akan mengantar ambu ke rumah sakit. Setelah
seminggu mengumpulkan uang dari hasil menjual payung, uang akan aku pakai untuk
membiayai pengobatan ambuku. Sementara adik- adikku dititipkan kepada tetangga
sebelah.
Aku
berangkat dari rumah pagi- pagi sekali, menghindari macet dan antrean di rumah
sakit agar cepat pulang ke rumah, maklum saja Sukabumi sekarang sudah ramai.
Sekitar jam 7 pagi, aku langsung mengantre diloket. Ambu, yang tidak kuat
berdiri terlalu lama, hanya duduk didepan loket sambil membawa sapu tangannya.
Dirumah sakit, para pasien yang
ingin berobat mengantre didepan loket ada juga yang duduk di koridor-koridor
rumah sakit. Terlihatnya seperti korban bencana alam sedang menunggu bantuan,
aku tertawa kecil dalam hati. Udara disana sangat menyengat, maklum saja kami
hanya pasien ASKESKIN. Nomor 10 yang kudapat, padahal dokter yang akan
memeriksa belum datang. Aku sempat melamun ketika menunggu giliran.
Kebiasannya, aku melamuni abah, rasanya saat ini abah masih didekatku. Aku
sangat rindu dengan abah, aku teringat ketika beliau memberi pelukan hangat
kepadaku ketika aku jatuh sambil mengelus rambutku, air mata tak terasa
membasahi pipi. Cepat cepat kuusap air mata agar ambu tidak melihatnya.
Sesampainya dirumah, untuk mengisi kekosongan
aku membeli barang-barang ke pasar. Karena hujan, aku berteduh sejenak di depan
warteg. Dilihatku etalase berisi makanan- makanan yang lezat, walau makanan
biasa, aku tetap tergoda dengan semuanya dengan perutku yang kelewat lapar. Tak
lama hujan reda, aku cepat berlari ke warung kecil di emperan pasar untuk
membeli barang- barang.
Setengah jalan pulang dari pasar,
aku baru ingat sepedaku tertinggal di warteg tempatku berteduh. “Ya Tuhan,” aku
berlari sambil berdoa semoga sepeda merah kesayanganku masih ada disana. Tetapi
sepertinya sudah terlambat. Disana aku hanya melihat ibu ibu penjual warteg
membereskan etalase makanan. Seingatnya, kuletakkan sepeda merah itu di samping
pintu warteg.
“ Ya Tuhan, kemana sepedaku?,”
aku berkata sambil mengatur nafas.
“Aya naon neng?,” ibu ibu penjual
di warteg itu bertanya.
“Saya teh cari sepeda saya
disini, tadi pas hujan saya berteduh disini sambil membawa sepeda saya, tapi
saya lupa membawanya lagi,”
“Eleuh- eleuh eneng teh gimana,
atuh sepedanya udah nggak ada.Tadi ibu sempet liat tapi nggak tau kemana,” ibu
menjelaskan.
Sudah
kuduga sebelumnya. Bagaimana bisa aku pulang tanpa sepeda merah itu. Apalagi
itu sepeda pembelian abah satu- satunya. Kalaupun aku punya uang untuk membeli
sepeda baru, itu tidak akan menggantikan bisa menggantikan sepeda pembelian
abah. Sungguh aku merasakan kehilangan sekali, apalagi itu satu- satunya
peninggalan abah.
Semalaman
aku mengingat- ingat dimana terakhir aku meletakkan sepeda, sampai- sampai
semalaman aku tak bisa tidur dan yang paling aku takuti, aku belum sempat
memberitahukan kepada ambu, aku takut ambu kecewa. Ketika abah baru membelikan
sepeda itu untukku, abah berpesan kepada ambu dan aku agar menjaga sepeda itu
dengan baik. Tapi sekarang aku malah menghilangkannya. Tapi dengan berani aku
mengatakannya kepada ambu.
Esoknya,
jam sudah menunjukkan jam 7 pagi. Aku segera buru- buru memberesi kamar, mandi
dan langsung pergi kerumah Pak Yanto. Sudah dua hari terakhir, aku tidak
melukis payung ‘geulis’. Jika hari ini aku tidak kebagian payung, bisa bisa
dapur tak ngebul. Saat dijalan, aku bertemu dengan seseorang dengan penampilan
yang tak asing. Memakai celana kodorai, kaos
coklat. Itu Fahmi, teman sekelasku dulu yang pernah aku sukai. Lalu, dia
menghampiriku.
“Hai
Dian, kamu mau kemana?,” Tanya Fahmi. “Aku teh pengen ke rumah Pak Yanto, mau
ambil payung ‘geulis’,” jawabku singkat. Aku tak berani menatap mata Fahmi. “Mau
aku temani?,” Fahmi bertanya lagi,” kebetulan aku ingin kearah sana,”. Aku
menolak ajakan Fahmi dan langsung berlari ke rumah Pak Yanto. Ketika aku sampai
di rumah PakYanto, Fahmi menemuiku lagi. Ternyata dia meminta bantuanku untuk
membuatkan payung ‘geulis’ untuk tugas sekolah. “ Yang ini aku tidak bisa
menolak,” pikirku.
Kupergi
ke tempat biasa dengan Fahmi, kali ini aku merasa tidak kesepian. Biasanya aku
hanya ditemani sepeda merah kesayanganku. Sayang, aku tak berani memulai pembicaraan
terlebih dahulu. Aku takut salah bicara. Sesampainya disana, aku langsung
membereskan barang- barang yang akan digunakan untuk melukis. Cat, pallet, dan kuas sedangkan Fahmi
membereskan payung- payung yang akan dilukis. Lama- lama aku semakin dekat
dengan Fahmi. Yang tadinya aku canggung dengannya, kini tidak lagi. Fahmi
memulai suatu pembicaraan dan bertanya- tanya kepadaku.
“Yan,
aku salut kepadamu, dengan keadaan yang sesulit ini kamu masih bisa tegar.”
“Ah
biasa saja, ini memang sudah menjadi kewajibanku, semua orang yang ada
diposisiku pasti melakukan hal yang sama,” aku menjawab.
“ Oiya,
aku heran kenapa kamu suka sekali duduk disini, padahal kataku, tempat ini
tidak jauh berbeda dengan yang lain.”
“Menurutku
tempat ini menjadi tempat yang paling nyaman, disini aku bisa menemukan
inspirasi. Lihat saja, lingkungan disini masih asri.”
“Benar
juga ya,”
Kami
melanjutkan pembicaraan sambil melukis payung- payung ‘geulis’ku. Kulihat
lukisan Fahmi yang acak- acakan sambil tertawa geli. Hari itu, menjadi hari
yang membuatku tersenyum. Ditambah ketika aku sampai dirumah, aku melihat
sepedaku sudah ada didepan rumah. Aku langsung buru- buru menghampiri ambu.
Kata ambu, sepeda ini diantarkan oleh seseorang. Dia menemukannya di depan
warteg dekat pasar. Alangkah senangnya aku.
“Alhamdulillah,
sepedaku ketemu. Pokoknya aku gak bakalan lagi ninggalin sepeda ini sendirian.
Aku bakal menjaga sepeda ini karena aku saying abah.”
“Dan
tidak meninggalkan sepeda ini lagi di warteg,” ambu mengejek sambil tertawa.
☺☺☺
Tidak ada komentar:
Posting Komentar