Ridiculous-er

12/10/2011

Sepeda Peninggalan Abah


Aku duduk dibawah pepohonan rindang sambil menikmati udara sejuk pagi itu sambil menghiasi payung payung ‘geulis’ku yang kukerjakan utuk dijual. Sejak abah meninggalkan kami 2 tahun yang lalu, ya beginilah nasibku, pergi pagi pulang petang untung menafkahi keluargaku. Sebagai anak sulung, aku merasa bertanggung jawab atas itu.

               Hari itu, tepatnya tanggal 7 Januari dua tahun yang lalu, aku merasa ada yang mengganjal. Entah apa, aku merasa seharian itu aku gelisah. Di sekolah, biasanya aku semangat untuk mendengarkan Bu Marsini menjelaskan pelajaran IPS yang paling aku sukai. Tapi hari ini benar benar tidak jelas. Pikiranku kacau, aku pikir hari itu aku harus segera pulang ke rumah. Tetapi ketika aku akan bertanya sesuatu kepada Bu Marsini, ada seseorang yang mengetuk pintu kelas. Aku ingin tahu sekali siapa yang ada dibalik pintu kelas. Mungkinkah itu seseorang yang membawa kabar buruk untukku, atau hanya Pak Yanto yang hanya ingin mengambil uang ‘prelek’. “Ah sudahlah,” kataku dalam hati.  Aku mencoba mengabaikannya dan melanjutkan mengerjakan tugas IPS.
                Ketika pikiranku sedikit tenang, Pak Yanto bersama Bu Marsini memasuki ruang kelas. Ada apa sebenarnya yang terjadi, kulihat wajah- wajah  mereka seperti membawa kabar duka. “Permisi anak anak hari ini bapak akan mengumumkan sebuah kabar duka”, Pak Yanto berkata. Apa kuduga, feeling ku benar. Lalu, Bu Marsini melanjutkan,”Kami turut berduka cita atas meninggalnya Ayah dari Dian”. Sontak aku langsung berdiri dari kursi, badan tiba-tiba lemas, mulutku rasanya tak bisa berkata apa apa. Tanpa pikir panjang, aku langsung lari keluar kelas dan pulang ke rumahku, meninggalkan tas, buku- buku yang tergeletak di meja dan sepeda butut berwarna merah pembelian abah di halaman sekolah. Hujan turun dengan lebatnya, sama seperti air mata dipipi yang terus membanjiri. Aku berlari sambil mengusap air mata. Sambil berlari aku memikirkan abah, hanya abah.
                Dari kejauhan sudah terlihat bendera kuning berkibar di atas drum kosong, gedebong- gedebong pisang terkumpul di depan rumah, tenda biru segera dipasang. Aku tak percaya akan hal itu, abah tidak mungkin meninggalkan aku, ambu dan kelima adikku, Dani, Tia, Laras, Salma dan Fajar secepat ini. Aku tak sanggup melihat ambu menangis, menangis melihat abah telah tiada, aku tidak sanggup melihat kelima adikku yang masih terlalu kecil. Kucoba beranikan diri untuk mendekati rumahku, sepanjang jalan dekat rumah, tetangga- tetangga melihatku dengan muka menunduk . Semakin banjir air mataku, ketika dari balik pintu melihat ambu duduk disebelah abah sambil mengelus-elus dahi abah. Aku menghampiri ambu dan memeluknya erat.
                Hari itu masih teringat dipikiranku dan selalu akan teringat. Apalagi, ketika aku melihat sepeda butut itu. Sepeda merah tua pembelian abah ketika aku masih SD. Abah membelikan sepeda itu khusus untukku.  Aku melanjutkan melukis payung ‘geulis’. Selesainya, aku pulang ke rumah dan langsung memberesi rumah. Walau badan terasa lelah, namun hal itu sirna ketika aku melihat senyum polos adik- adikku. Ambu tidak sanggup lagi mengerjakan semua pekerjaan rumah karena akhir akhir ini ambu sering sakit-sakitan, ambu tidak lagi pergi ke sawah dan sejak saat itu aku memutuskan berhenti sekolah dan memulai membuat payung-payung ‘geulis’ demi memenuhi kebutuhan.
                Keesokan harinya, aku akan pergi ke tempat biasa dengan sepedaku untuk membuat payung- payung ‘geulis’ lagi. Aku tidak bisa membeli bahan- bahan yang dibutuhkan untuk membuat payung ‘geulis’ jadi, aku hanya mengambil payung yang sudah jadi dari Pak Yanto untuk dilukis, kebetulan sekali Pak Yanto memiliki usaha sampingan menjual payung. Ketika akan ke rumah Pak Yanto, aku melewati sekolah tempatku dulu bersekolah, suasananya yang nyaman sama seperti 2 tahun lalu, sungguh aku ingin merasakan hal itu lagi namun tidak mungkin. Kulihat dari pagar, gedung sekolah berwarna kelabu, pohon jambu dan bunga eforbia menghiasi taman sekolah, tempat biasa aku memarkirkan sepedaku dan yang paling aku rindukan adalah teman sekelasku.
                Sesampainya dirumah Pak Yanto, aku tidak jadi mengambil payung ‘geulis’ karena payung telah habis terambil oleh ibu-ibu sekitar. Memang sering kejadian ini terjadi, jika aku telat sedikit saja, aku tidak kebagian payung. Aku memutuskan untuk pergi ke tempat biasa dengan sepeda untuk mencari inspirasi. Biasanya disana aku melukis payung ‘geulis’ atau sekedar menulis puisi. Aku tidak bisa berlama- lama disana karena harus membantu ambu di rumah.
                Di rumah, ambu terlihat kelelahan. Ku lihat badannya penuh keringat. “Ambu dari mana?”, kutanya kepada ambu. Ternyata ambu baru saja pulang dari sawah. Kutanya beliau, ternyata ambu tidak ingin berdiam diri dirumah sedangkan aku bekerja keras. Betapa tersentuhnya hatiku mendengar hal itu. Seharusnya ambu tidak melakukannya, keadaan fisik yang lemah membuat ambu rentan penyakit. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit besok.
Pagi ini aku tidak mengambil payung ke rumah Pak Yanto karena akan mengantar ambu ke rumah sakit. Setelah seminggu mengumpulkan uang dari hasil menjual payung, uang akan aku pakai untuk membiayai pengobatan ambuku. Sementara adik- adikku dititipkan kepada tetangga sebelah.
                Aku berangkat dari rumah pagi- pagi sekali, menghindari macet dan antrean di rumah sakit agar cepat pulang ke rumah, maklum saja Sukabumi sekarang sudah ramai. Sekitar jam 7 pagi, aku langsung mengantre diloket. Ambu, yang tidak kuat berdiri terlalu lama, hanya duduk didepan loket sambil membawa sapu tangannya.
Dirumah sakit, para pasien yang ingin berobat mengantre didepan loket ada juga yang duduk di koridor-koridor rumah sakit. Terlihatnya seperti korban bencana alam sedang menunggu bantuan, aku tertawa kecil dalam hati. Udara disana sangat menyengat, maklum saja kami hanya pasien ASKESKIN. Nomor 10 yang kudapat, padahal dokter yang akan memeriksa belum datang. Aku sempat melamun ketika menunggu giliran. Kebiasannya, aku melamuni abah, rasanya saat ini abah masih didekatku. Aku sangat rindu dengan abah, aku teringat ketika beliau memberi pelukan hangat kepadaku ketika aku jatuh sambil mengelus rambutku, air mata tak terasa membasahi pipi. Cepat cepat kuusap air mata agar ambu tidak melihatnya.
 Sesampainya dirumah, untuk mengisi kekosongan aku membeli barang-barang ke pasar. Karena hujan, aku berteduh sejenak di depan warteg. Dilihatku etalase berisi makanan- makanan yang lezat, walau makanan biasa, aku tetap tergoda dengan semuanya dengan perutku yang kelewat lapar. Tak lama hujan reda, aku cepat berlari ke warung kecil di emperan pasar untuk membeli barang- barang.
Setengah jalan pulang dari pasar, aku baru ingat sepedaku tertinggal di warteg tempatku berteduh. “Ya Tuhan,” aku berlari sambil berdoa semoga sepeda merah kesayanganku masih ada disana. Tetapi sepertinya sudah terlambat. Disana aku hanya melihat ibu ibu penjual warteg membereskan etalase makanan. Seingatnya, kuletakkan sepeda merah itu di samping pintu warteg.
“ Ya Tuhan, kemana sepedaku?,” aku berkata sambil mengatur nafas.
“Aya naon neng?,” ibu ibu penjual di warteg itu bertanya.
“Saya teh cari sepeda saya disini, tadi pas hujan saya berteduh disini sambil membawa sepeda saya, tapi saya lupa membawanya lagi,”
“Eleuh- eleuh eneng teh gimana, atuh sepedanya udah nggak ada.Tadi ibu sempet liat tapi nggak tau kemana,” ibu menjelaskan.
                Sudah kuduga sebelumnya. Bagaimana bisa aku pulang tanpa sepeda merah itu. Apalagi itu sepeda pembelian abah satu- satunya. Kalaupun aku punya uang untuk membeli sepeda baru, itu tidak akan menggantikan bisa menggantikan sepeda pembelian abah. Sungguh aku merasakan kehilangan sekali, apalagi itu satu- satunya peninggalan abah.
                Semalaman aku mengingat- ingat dimana terakhir aku meletakkan sepeda, sampai- sampai semalaman aku tak bisa tidur dan yang paling aku takuti, aku belum sempat memberitahukan kepada ambu, aku takut ambu kecewa. Ketika abah baru membelikan sepeda itu untukku, abah berpesan kepada ambu dan aku agar menjaga sepeda itu dengan baik. Tapi sekarang aku malah menghilangkannya. Tapi dengan berani aku mengatakannya kepada ambu.
                Esoknya, jam sudah menunjukkan jam 7 pagi. Aku segera buru- buru memberesi kamar, mandi dan langsung pergi kerumah Pak Yanto. Sudah dua hari terakhir, aku tidak melukis payung ‘geulis’. Jika hari ini aku tidak kebagian payung, bisa bisa dapur tak ngebul. Saat dijalan, aku bertemu dengan seseorang dengan penampilan yang tak asing. Memakai celana kodorai, kaos coklat. Itu Fahmi, teman sekelasku dulu yang pernah aku sukai. Lalu, dia menghampiriku.
                “Hai Dian, kamu mau kemana?,” Tanya Fahmi. “Aku teh pengen ke rumah Pak Yanto, mau ambil payung ‘geulis’,” jawabku singkat. Aku tak berani menatap mata Fahmi. “Mau aku temani?,” Fahmi bertanya lagi,” kebetulan aku ingin kearah sana,”. Aku menolak ajakan Fahmi dan langsung berlari ke rumah Pak Yanto. Ketika aku sampai di rumah PakYanto, Fahmi menemuiku lagi. Ternyata dia meminta bantuanku untuk membuatkan payung ‘geulis’ untuk tugas sekolah. “ Yang ini aku tidak bisa menolak,” pikirku.
                Kupergi ke tempat biasa dengan Fahmi, kali ini aku merasa tidak kesepian. Biasanya aku hanya ditemani sepeda merah kesayanganku. Sayang, aku tak berani memulai pembicaraan terlebih dahulu. Aku takut salah bicara. Sesampainya disana, aku langsung membereskan barang- barang yang akan digunakan untuk melukis. Cat, pallet, dan kuas sedangkan Fahmi membereskan payung- payung yang akan dilukis. Lama- lama aku semakin dekat dengan Fahmi. Yang tadinya aku canggung dengannya, kini tidak lagi. Fahmi memulai suatu pembicaraan dan bertanya- tanya kepadaku.
                “Yan, aku salut kepadamu, dengan keadaan yang sesulit ini kamu masih bisa tegar.”
                “Ah biasa saja, ini memang sudah menjadi kewajibanku, semua orang yang ada diposisiku pasti melakukan hal yang sama,” aku menjawab.
                “ Oiya, aku heran kenapa kamu suka sekali duduk disini, padahal kataku, tempat ini tidak jauh berbeda dengan yang lain.”
                “Menurutku tempat ini menjadi tempat yang paling nyaman, disini aku bisa menemukan inspirasi. Lihat saja, lingkungan disini masih asri.”
                “Benar juga ya,”
                Kami melanjutkan pembicaraan sambil melukis payung- payung ‘geulis’ku. Kulihat lukisan Fahmi yang acak- acakan sambil tertawa geli. Hari itu, menjadi hari yang membuatku tersenyum. Ditambah ketika aku sampai dirumah, aku melihat sepedaku sudah ada didepan rumah. Aku langsung buru- buru menghampiri ambu. Kata ambu, sepeda ini diantarkan oleh seseorang. Dia menemukannya di depan warteg dekat pasar. Alangkah senangnya aku.
                “Alhamdulillah, sepedaku ketemu. Pokoknya aku gak bakalan lagi ninggalin sepeda ini sendirian. Aku bakal menjaga sepeda ini karena aku saying abah.”
                “Dan tidak meninggalkan sepeda ini lagi di warteg,” ambu mengejek sambil tertawa.
☺☺☺

Tidak ada komentar:

Posting Komentar